Latar
Belakang
Alhamdulillah
kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan taufiq dan hidayah
serta inayahNya,kami dapat menyelesaikan Makalah Analisa Pemikiran
Madzhab-madzhab tentang Melihat Tuhan ini.
Semoga
sholawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW,
seluruh keluarganya, para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in serta seluruh
kaum muslimin,amin.
Melihat
Tuhan dengan mata kepala sendiri (rukyat) merupakan permasalahan ghaib dan
sulit untuk dibuktikan sehingga melahirkan pemahaman – pemahaman yang berbeda
dari aliran-aliran pemikiran yang sejak awal memiliki sudut pandang dalam
pemahaman pemikiran diantaranya:
Aliran
Muktazilah, Aliran Asy’ariyah, Aliran Maturidiyah serta beberapa pendapat ulama
mengenai hal ini yang kemudian akan di bahas di bab pertama adapun sub-sub
bahasannya ialah:
Rumusan
Masalah
1.
Definisi
2.
Pemikiran Mahdzab – mahdzab
tenntang rukyat
3.
Pendapat Jumhur Ulama’ tentang
rukyat
- Tujuan
Tujuan di
susunnya makalah ini selain untuk pendalaman ilmu kalam ini dan penambahan ilmu
untuk si penulis, makalah ini disusun pula untuk menunjang pencapaian akumulasi
Nilai Akhir Semester yang lebih sempurna.
PEMBAHASAN
- Definisi
Rukyat menurut
bahasa berarti,”Annazar bil aini au bil-qalbi”(melihat dengan mata atau dengan
hati).Ru’yatullah berarti melihat Allah dengan penglihatan mata atau
penglihatan hati.Apakah Allah bisa dilihat?, bisakah itu terjadi? dan di
manakah Ia bisa dilihat?[1]
- Pemikiran
tentang rukyat menurut beberapa mahdzab
Masing – masing aliran
ilmu kalam berselisih tentang sudut pandang hal diatas, sebab utama dari
perselisihan tersebut ialah perbedaan gambaran masing – masing terhadap Zat
Tuhan dan gamabran terhadap pertalian antara orang yang melihat dan dilihat,
berikut pendapat dari masing-masing aliran mengenali rukyat, hasil penelitian
dan pendapat mereka berbeda antara aliran yang satu dengan aliran pemikiran
yang lain. Bentuk perbedaan hasil I’tibar mereka itu akan diuraikan sebagai
berikut :
A.
Aliran Mu’tazilah
1.
Sebab-sebab
berdirinya
Aliran
Mu’tazilah adalah aliran pikiran islam yang terbesar dan tertua, yang telah
memainkan peranan yang sangat penting. Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih
pada permualaan abad kedua Hijrah di kota basrah, pusat ilmu dan peradan islam
kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam
agama.
Wasil bin Ata’ al-Ghazzal (80-131H/699 M)
Wasil
bin Ata’ al – Ghazazal ialah pendiri aliran Muktazilah berbeda pendapat dengan
gurunya yaitu Hasan Basri dalam soal tersebut diatas yang karenanya ia
memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya dan berdiri sendiri,
kemudian mendapat pengikut banyak.Sejak saat itu wasil dan teman-temannya
disebut “golongan yang memisahkan diri”(mu’tazilah).[2]
2.
Pemikiran Teologi
Muktazilah tentang Rukyat
Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat dengan
mata kepala karena :
· Tuhan
tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat
· Bila
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti Tuhan dapat dilihat
sekarang di dunia ini, sedangkan kenyataan tidak seorangpun yang dapat melihat
Tuhan di alam ini. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam mendukung
pendapat ini adalah ayat 103 Al-An’am, ayat 23 surat Al- Qiyamah 75, ayat 14
surat Al A’raf [7], ayat 110 surat Al Kahfi [18] dan ayat 51 surat
Asy-syura [42][3]
Mu’tazilah
dan berbagai kelompok yang sepaham dengannya,
seperti Jahamiyah, Khawarij,
Syiah Imamiyah, dan sebagian Murjiah mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat
dengan mata kepala, dan itu mustahil dan mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada
Allah .
Di
antara argumentasinya adalah sebagai berikut[4]:
a.
Firman Allah.
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا
وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي
وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا
فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُؤْمِنِينَ
Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan, dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah
Musa:"Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, agar aku dapat
melihat kepada Engkau". Rabb berfirman:"Kamu sekali-kali tak sanggup
untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai
sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabbnya menampakkan
diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh
pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:"Maha Suci Engkau,
aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman". [Al A’raf
:143]
Penafsiran
ayat tersebut menurut Mu’tazilah :
Ø Allah
Azza wa Jalla memakai kata-kata “lan tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup
untuk melihat-Ku) yang berfungsi sebagai ‘nafy ta’bid” (peniadaan untuk
selamanya), kalau tidak dapat dilihat oleh Musa, juga selamanya tidak bisa
dilihat oleh orang lain.
Ø Firman
Allah Azza wa Jalla, "Dan Musapun jatuh pingsan", seandainya
ru’yatullah boleh terjadi, kenapa Musa lansung pingsan sebelum melihat Allah?.
Ø Firman
Allah Azza wa Jalla, Maka setelah sadar kembali, dia berkata: ”Maha Suci
Engkau”. Ar-Razi berkata: ”Musa bertasbih untuh mentanzihkan (menyucikan) Allah
Azza wa Jalla dari perbuatan sebelumnya, yaitu permintaan melihat Allah Azza wa
Jalla, dan tanzih tidak terjadi kecuali dari kekurangan, dengan demikian maka
melihat Allah Azza wa Jalla menunjukkan kekurangan dan hal itu mumtani’ (tidak
boleh terjadi) pada hak Allah Azza wa Jalla.”
Ø Perkataan
Musa dalam ayat di atas: ”Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama-tama beriman” menunjukkan bahwa permintaan melihat Allah Azza wa Jalla
dianggap dosa oleh Musa sehingga harus bertobat kepada-Nya, dan tobat tidak
dilakukan kecuali dari perbuatan dosa.
b.
Permintaan melihat Allah Azza wa Jalla
dianggap sebuah kezaliman. Seperti yang dialami oleh Bani Israil sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla.
فَقَالُوا أَرِنَا اللهَ جَهْرَةً
فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ
“…..mereka
berkata: ”Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”. Maka mereka disambar
petir karena kezalimannya…” [An Nisa:153.]
Di
sini Allah Azza wa Jalla mengadzab orang yang meminta melihat_Nya, bila hal itu
diperbolehkan niscaya Dia tidak akan mengazabnya. Ayat senada juga ada pada
surat Al Baqarah ayat 55.
c.
Firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Quran
surat Assyura ayat :51
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ
اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ
بِإِذْنِهِ مَا يَشَاء إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan
tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [Assyura:51]
Dalam
ayat ini Allah Azza wa Jalla berbicara dengan manusia hanya lewat wahyu, atau
di balik tabir [hijab], atau lewat utusan-Nya. Kalau Allah Azza wa Jalla boleh
dilihat, niscaya Dia tampakkan diriNya lansung dan tidak perlu lewat perantara
atau di balik tabir.
d.
Secara akal bahwa semua yang
dilihat mesti akan berbekas di penglihatan dalam bentuk atau rupa, sedangkan
yang demikian mustahil bagi Allah Azza wa Jalla dan Maha Suci Allah Azza wa
Jalla dari yang demikian.
B.
Aliran
Asy’ariyah
1.
Sebab-sebab
berdirinya
Abul Hasan Ali
bun Ismail al-asyari(260 H / 873 M)
keturunan
dari Abu Musa al-Asy’ari, keturunan dari Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang
perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al – Asy’ari pada waktu kecil
berguru pada seorang Mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus
sampai berusia 40 tahun.Ketika mencapai umur 40 tahunia bersembunyi dirumahnya
selama 15 hari, kemudian pergi ke Mesjid Basrah.Di depan orang banyak ia
menyatakan bahwa tidak lagi memegang pendapat Mu’tazilah dan menunjukkan
keburukan – keburukan dan kelemahan – kelemahannya.
Sebab utama ia
meninggalkan aliran Mu’tazilah
Ia
sangat menghawatirkan Qur’an dan Hadits menjadi korban paham – paham kaum
Mu’tazilah,yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena berdasarkan
atas pemujaan akal pikiran. Sebagaimana juga dikhawatirkan menjadi korban sikap
ahli hadis anthoropomophis yang hanya memegangi nas – nas dengan meninggalkan
jiwanya dan hampir-hampir menyeret Islam kepda kelemahan, kebekuan yang tidak
dapat dibenarkan agama. Al Asy’ ari karenanya mengambil jalan tengah antara
golongan tekstual dan ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas
kaum Muslimin. [5]
2.
Pemikiran Teologi
Asy’ariyah tentang Rukyat
Berbeda
dengan pendapat Mu’tazillah. Aliran Asy’ariyah mengatakan Tuhan dapat dilihat
diakhirat dengan mata kepala karena Tuhan mempunyai wujud. Ia dapat dilihat,
bila Tuhan melihat diri-Nya tentulah ia sendiri dapat membuat manusia yang
mempunyai kemampuan melihat dirinya sendiri. Dalil Asy’ariyah yang dijadikan
sandaran pendapatnya adalah
Artinya
: wajah – wajah orang mu’min pada hari itu berseri – seri kepada Tuhannyalah
mereka melihat ( QS : Al Araf : 143 ).
Menurut
Asy’ariyah Tuhan mempunyai sifat – sifat jasmaniyah misalnya Tuhan tangan yang
disebutkan dalam Al – Qur’an, hal itu harus diterima karena hal – hal yang
tidak dapat diselami oleh akal manusia yang lemah. Asy’ariyah berpendapat Tuhan
bisa dilihat diakhirat, argumen yang diajukan Asy’ariyah untuk memperkuat
pendapat diatas adalah yang tidak dapat dilihat adalah yang tak wujud yang
mempunyai wujud pasti dapat dilihat
C.
Aliran
Maturidiyah
1.
Sebab-sebab
berdirinya
Aliran
Maturidiyah, seperti aliran Asyariyah, masih tergolong Ahli Sunah.Pendirrinya
ialah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota
kecil di daerah Samarkand (termasuk daerah Uzbekistan sekarang kurang lebih
pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan meninggal di Samarkand tahun 332 H.
Maturidi
selama hidupnya dengan Asy’ari , hanya dia hidup di Samarkand, sedangkan
Asy’ari hidup di Basrah (Irak). Asy’ari adalah pengikut Syafii dan Maturidi
pengikut mazhab Hanafi. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ari adalah orang –
orang syafiiyah, sedang pengikut Maturidi adalah orang – orang Hanafiyah. Boleh
jadi ada perbedaan pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya
perbedaan pendapat antara Syafii dan Abu Hanifah sendiri.
Baik
Maturidi maupun Asy’ari, kedua – duanya menentang aliran Muktazilah, hanya
Asy’ari menghadapi pusatnya di Basrah, sedangkan Maturidi menghadapi cabang
Muktazilah di negerinya yang mengulan – ulang pikiran – pikiran Muktazilah di
Basrah.
2.
Pemikiran
Teologi Maturidiyah tentang Rukyat:
Maturidiyah
terdiri dari 2 golongan :
1)
Aliran maturidiyah Samarkand
sejalan dengan Asy’ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat,Sebagaimana dijelaskan
Al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi
tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya. Ayat 103 surat Al-An-am [6]
yang dijadikan dalil oleh Al-Maturidi dalam mendukung pendapatnya tentang Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala, diberi tafsiran dengan mengatakan, bahwa Tuhan
dapat dilihat maka penafian al-idrak
(Pengungkapan dengan cara-cara yang jelas) tidaklah ada artinya. Hal ini karena
bila selain Tuhan hanya dapat ditangkap dengan pandangan menempatkan nafy al-idrak,
penafian tersebut menjadi tidak bermakna.Oleh sebab itu Tuhan dapat dilihat
dengan mata
2)
Demikian pula Maturidyah Bukhara
juga sependapat dengan Asy’ariyah dan Maturidi Samarkand bahwa Tuhan dapat
dilihat dengan mata kepala.Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelak
memperlihatkan diri-Nya untuk kita lihat dengan mata kepala, menurut apa yang
ia kehendaki [6]
Baik
Asy’ariyah maupun Maturidiyah adalah sama-sama termasuk dalam khalaf
(ahlusunnah).
Pendapat
ahlusunnah menanggapi argument Mu’tazilah tentang Rukyat ialah[7]
:
1.
Pingsannya Nabi Musa disebabkan karena ketidak mampuannya melihat Allah, dan
ini bukan berarti Allah tidak bisa dilihat.
2.
Tasbihnya Musa setelah sadar dari pingsannya, bukan menunjukkan penyucian dari
kekurangan Allah, justeru menunjukkan kekurangan dan kelemahan Nabi Musa yang
yang tidak mampu melihat Allah di dunia, dan tidak semua yang bisa dilihat berarti
tidak baik atau kurang.
3.
Nabi Musa mengatakan: ”Saya bertobat”, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya Juz VII/27
mengatakan: “Sudah disepakati oleh semua umat bahwa perkataan ini bukan disebabkan
karena Musa melakukan maksiat.”
4.
Kaum Nabi Musa diadzab ketika mereka meminta melihat Allah, karena permintaan
mereka adalah sebuah tantangan kepada nabinya dan itu dilakukannya dengan penuh
kesombongan dan keingkaran dan menganggap semua itu suatu yang mustahil. [Lihat
Al Ibanah hal.15]
5.
Perkataan mereka yang mengatakan bahwa setiap yang terlihat akan memberikan
bekas yang berbentuk dan berwarna adalah “Qiyas ma’al fariq” yaitu kiyas yang
terdapat banyak perbedaan karena membandingkan Al -Khaliq [pencipta] dan
makhluk-Nya dan kiyas seperti ini adalah bathil, karena Allah berfirman yang
artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءُُ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak
ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya [As-Syuraa : 11]
3.
Pendapat Jumhur ulama’ tentang Rukyat
Menurut para Jumhur ulama’[8]
Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia. Berbeda dengan kelompok
Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya), juga sebagian
As’ariyah dan orang –orang Shufi, yang mengatakan bahwa Allah bisa dilihat
dengan mata kepala di dunia, bahkan bisa mushafahah (berjabatan tangan) dan
mulamasah (bersentuhan) dengan Allah, sebagaimana yang terdapat pada kitab
Sirajut Thalibin, mereka mengatakan: ”Orang-orang yang ikhlas akan bisa
melihat, bahkan memeluk Allah di dunia dan akherat, kalau mereka menginginkan
yang demikian”. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.
Orang-orang
Shufi menganggap bahwa ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) yang ada dalam
hatinya sebagai ru’yatullah dengan mata kepala. Padahal terkadang syaitan
membayang-bayanginya, dan mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya At-Tawassul Wal Washilah hal.28 berkata:
”Terkadang seorang hamba melihat Arsy yang besar yang ada gambar, juga melihat
ada orang yang naik dan turun di arsy tersebut, dan menganggapnya itu malaikat,
dan menganggap gambar itu adalah Allah, padahal itu adalah syaitan. Seperti ini
sering terjadi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani, beliau
bercerita: ”Suatu hari ketika saya selesai beribadah saya melihat arsy yang
agung, di dalamnya ada cahaya dan ada seorang yang memanggil, “Wahai Abdul
Qadir Jailani saya adalah Tuhanmu dan saya sudah menghalalkan kepadamu semua
yang Aku haramkan sebelumnya.”
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya
tentang orang yang mengatakan bahwa dirinya pernah melihat Allah dengan mata
kepala di dunia, beliau menjawab: “Barangsiapa di antara manusia yang
mengatakan bahwa para wali atau selainnya bisa melihat Allah dengan mata
kepalanya di dunia maka ia adalah seorang Mubtadi’ yang menyesatkan,yang
berlawanan dengan Kitab dan Sunnah dan ijma’ salaful ummah, apalagi kalau
menganggap dirinya lebih afdhal dari Musa.
Mengenai
apakah Rasulullah pernah melihat Allah didunia atau tidak, para jumhur ulama’ sepakat
orang yang meniadakan ru’yatullah maksudnya Nabi tidak melihat Allah dengan
mata kepalanya sendiri. Ulama sepakat bahwa Rasulullah pernah melihat Allah dengan hatinya,
berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: “Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatNya dengan hatinya” [HR.Muslim]Dan yang
menetapkan ru’yatullah maksudnya Nabi melihat Allah dengan mata hatinya. Karena
tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang menyatakan
bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala beliau, dan Rasulullah
sendiri tidak pernah memberitahukan kepada shahabatnya, seandainya beliau
pernah melihat Allah dengan matanya niscaya akan menceritakan sahabatnya
Adapun
selain Nabi, seperti Shahabat dan tabi’in, maka salaf sepakat bisa terjadi bagi
hati seorang mukmin sebuah mukasyafat (membuka tabir) dan musyahadat
(persaksiaan), yang sesuai dengan keimanan dan ma’rifatullah. Karena seorang
yang mencintai sesuatu akan membekas dalam hatinya dan merasa selalu dekat dalam
hatinya. Sebagaimana jawaban Rasulullah tentang ihsan:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Hendaklah engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak
melihatNya, maka Dia melihatmu.[HR. Bukhari, Muslim]
Adapun dalil
jumhur yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di
dunia adalah sebagai berikut:
1)
Dalil Qur’an
1.
Firman Allah surat Al-A’raaf ayat 143 terdahulu. Ibnu Katsir mengatakan: ”Bahwa
penafian ru’yatullah khusus di dunia, karena adanya dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat di akhirat.”
2.
Firman Allah dalam surat Al anam ayat 153 . Imam Ahmad dalam kitab bantahannya
kepada Zanadiqah dan Jahamiyah hal.13-14, berkata: “Makna ayat ini adalah tidak
ada yang bisa melihat Allah di dunia kecuali di akherat. Ibnu Khuzimah dalam
kitab tauhidnya hal.185 menambahkan: “Bahwa Allah tidak bisa dicapai oleh
penglihatan penduduk dunia sebelum mati”.
3.
Firman Allah dalam surat Asy-Syu’ara ayat 51, yang menyatakan bahwa Allah hanya
berbicara dengan para rasulNya dengan wahyu atau di balik tabir atau dengan
malaikat. Kalau melihat Allah tidak bisa terjadi pada rasul-Nya, maka apalagi
pada manusia yang lain.
4.
Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 55, dan yang senada dengan ayat ini,
yang menyatakan bahwa Bani Israil meminta Musa untuk bisa melihat Allah dengan
jelas diazab oleh Allah, karena disamping mereka memintanya dengan penuh
kesombongan dan penantangan, juga mereka memintanya di waktu yang tidak mungkin
terjadi. Apabila kepada Nabi Musa saja tidak bisa terjadi maka apalagi kepada
yang lainnya.
2)
Dalil Sunnah
Hadits-hadits
yang lewat menyebutkan bahwa Allah hanya bisa dilihat pada hari kiyamat, seperti
hadis berikut:
”Ketahuilah
bahwasanya tidak ada seorangpun di antara kamu yang bisa melihat Tuhannya
sampai dia mati. [HR.Muslim]
Di sini
Rasulullah sedang berbicara dengan para sahabat bahwa mereka tidak bisa melihat
Allah sampai mati ,kalau sahabat saja dikatakan oleh Nabi tidak bisa melihat
Allah sebelum mati, apalagi manusia yang lain.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
ini bisa disimpulkan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala baik,
oleh nabi Musa maupun Rasulullah di dunia. Allah hanya bisa dilihat di dunia
dengan pandangan hati atau lewat sesuai dengan kapasitas keimanan dan
keyakinannya kepada Allah. Adapun pada hari kiamat Allah akan dilihat oleh
seluruh mahluk-Nya. Tetapi Ru'yatullah yang hakiki yang menjadi tambahan
kenikmatan, hanya bisa dirasakan oleh orang mukmin setelah mereka masuk kedalam
surga.
MAKALAH
ANALISA PERBANDINGAN PEMIKIRAN
MADZHAB-MADZHAB TENTANG MELIHAT TUHAN
Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester materi ilmu kalam
Dosen pembimbing : KH. Drs. Saifurrahman Nawawi
Oleh:
SILVY EL ROMLAH
JL.Pandan Sari Dalam Kelurahan Marga Sari
Balikpapan barat (KalTim)
Tarbiyah/Pendidikan Bahasa Arab
INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN (IDIA) PRENDUAN
SUMENEP MADURA
PERIODE : 2012-2013
DAFTAR PUSTAKA
v http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat
allah dalam pandangan ahlus sunnah dan mutazilah.html
v Hanafi,Ahamd.2001.Teologi
Islam(Ilmu Kalam), Jakarta:Bulan Bintang.
v Rosihon
Anwar,Abdul Rozak.2011.Ilmu Kalam,Bandung: CV Pustaka Setia.
[1]
http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah
dan mutazilah.html
[2]
Ahamd Hanafi,Teologi Islam(Ilmu Kalam),( Jakarta : Bulan Bintang, 2001)
Hlm. 43
[3]Rosihon
Anwar,Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandun :CV Pustaka Setia, g2011) Hlm. 171.
[4]
http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah
dan mutazilah.html
[5]
Ahamd Hanafi,Teologi Islam(Ilmu Kalam),( Jakarta : Bulan Bintang, 2001) Hlm. 65
[6]
Ahamd Hanafi,Teologi Islam(Ilmu Kalam),( Jakarta : Bulan Bintang, 2001) Hlm. 78
[7]
http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah
dan mutazilah.html
[8]
http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah
dan mutazilah.html
No comments:
Post a Comment