Pages

Monday, January 11, 2016

ANALISA PERBANDINGAN PEMIKIRAN MADZHAB-MADZHAB TENTANG MELIHAT TUHAN



Latar Belakang
Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan taufiq dan hidayah serta inayahNya,kami dapat menyelesaikan Makalah Analisa Pemikiran Madzhab-madzhab tentang Melihat Tuhan ini.
Semoga sholawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, seluruh keluarganya, para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in serta seluruh kaum muslimin,amin.
Melihat Tuhan dengan mata kepala sendiri (rukyat) merupakan permasalahan ghaib dan sulit untuk dibuktikan sehingga melahirkan pemahaman – pemahaman yang berbeda dari aliran-aliran pemikiran yang sejak awal memiliki sudut pandang dalam pemahaman pemikiran diantaranya:
Aliran Muktazilah, Aliran Asy’ariyah, Aliran Maturidiyah serta beberapa pendapat ulama mengenai hal ini yang kemudian akan di bahas di bab pertama adapun sub-sub bahasannya ialah:


Rumusan Masalah
1.       Definisi
2.       Pemikiran Mahdzab – mahdzab tenntang rukyat
3.       Pendapat Jumhur Ulama’ tentang rukyat

  1. Tujuan
Tujuan di susunnya makalah ini selain untuk pendalaman ilmu kalam ini dan penambahan ilmu untuk si penulis, makalah ini disusun pula untuk menunjang pencapaian akumulasi Nilai Akhir Semester yang lebih sempurna.



PEMBAHASAN

  1. Definisi
Rukyat menurut bahasa berarti,”Annazar bil aini au bil-qalbi”(melihat dengan mata atau dengan hati).Ru’yatullah berarti melihat Allah dengan penglihatan mata atau penglihatan hati.Apakah Allah bisa dilihat?, bisakah itu terjadi? dan di manakah Ia bisa dilihat?[1]

  1. Pemikiran tentang rukyat menurut beberapa mahdzab
Masing – masing aliran ilmu kalam berselisih tentang sudut pandang hal diatas, sebab utama dari perselisihan tersebut ialah perbedaan gambaran masing – masing terhadap Zat Tuhan dan gamabran terhadap pertalian antara orang yang melihat dan dilihat, berikut pendapat dari masing-masing aliran mengenali rukyat, hasil penelitian dan pendapat mereka berbeda antara aliran yang satu dengan aliran pemikiran yang lain. Bentuk perbedaan hasil I’tibar mereka itu akan diuraikan sebagai berikut :

A.    Aliran Mu’tazilah
1.     Sebab-sebab berdirinya
Aliran Mu’tazilah adalah aliran pikiran islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan yang sangat penting. Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permualaan abad kedua Hijrah di kota basrah, pusat ilmu dan peradan islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
Wasil bin Ata’ al-Ghazzal (80-131H/699 M)
Wasil bin Ata’ al – Ghazazal ialah pendiri aliran Muktazilah berbeda pendapat dengan gurunya yaitu Hasan Basri dalam soal tersebut diatas yang karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya dan berdiri sendiri, kemudian mendapat pengikut banyak.Sejak saat itu wasil dan teman-temannya disebut “golongan yang memisahkan diri”(mu’tazilah).[2]
2.     Pemikiran Teologi Muktazilah tentang Rukyat
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena :
·       Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat
·       Bila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini, sedangkan kenyataan tidak seorangpun yang dapat melihat Tuhan di alam ini. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat ini adalah ayat 103 Al-An’am, ayat 23 surat Al- Qiyamah 75, ayat 14 surat Al A’raf [7], ayat 110 surat Al Kahfi [18] dan ayat 51 surat Asy-syura  [42][3]
Mu’tazilah dan berbagai kelompok yang sepaham dengannya,
seperti Jahamiyah, Khawarij, Syiah Imamiyah, dan sebagian Murjiah mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala, dan itu mustahil dan mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada Allah .
Di antara argumentasinya adalah sebagai berikut[4]:
a.       Firman Allah.
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:"Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, agar aku dapat melihat kepada Engkau". Rabb berfirman:"Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:"Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman". [Al A’raf :143]
Penafsiran ayat tersebut menurut Mu’tazilah :
Ø  Allah Azza wa Jalla memakai kata-kata “lan tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku) yang berfungsi sebagai ‘nafy ta’bid” (peniadaan untuk selamanya), kalau tidak dapat dilihat oleh Musa, juga selamanya tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Ø  Firman Allah Azza wa Jalla, "Dan Musapun jatuh pingsan", seandainya ru’yatullah boleh terjadi, kenapa Musa lansung pingsan sebelum melihat Allah?.
Ø  Firman Allah Azza wa Jalla, Maka setelah sadar kembali, dia berkata: ”Maha Suci Engkau”. Ar-Razi berkata: ”Musa bertasbih untuh mentanzihkan (menyucikan) Allah Azza wa Jalla dari perbuatan sebelumnya, yaitu permintaan melihat Allah Azza wa Jalla, dan tanzih tidak terjadi kecuali dari kekurangan, dengan demikian maka melihat Allah Azza wa Jalla menunjukkan kekurangan dan hal itu mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada hak Allah Azza wa Jalla.”
Ø  Perkataan Musa dalam ayat di atas: ”Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman” menunjukkan bahwa permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap dosa oleh Musa sehingga harus bertobat kepada-Nya, dan tobat tidak dilakukan kecuali dari perbuatan dosa.
b.      Permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap sebuah kezaliman. Seperti yang dialami oleh Bani Israil sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
فَقَالُوا أَرِنَا اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ

“…..mereka berkata: ”Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”. Maka mereka disambar petir karena kezalimannya…” [An Nisa:153.]
Di sini Allah Azza wa Jalla mengadzab orang yang meminta melihat_Nya, bila hal itu diperbolehkan niscaya Dia tidak akan mengazabnya. Ayat senada juga ada pada surat Al Baqarah ayat 55.
c.       Firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Quran surat Assyura ayat :51
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاء إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [Assyura:51]
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla berbicara dengan manusia hanya lewat wahyu, atau di balik tabir [hijab], atau lewat utusan-Nya. Kalau Allah Azza wa Jalla boleh dilihat, niscaya Dia tampakkan diriNya lansung dan tidak perlu lewat perantara atau di balik tabir.
d.     Secara akal bahwa semua yang dilihat mesti akan berbekas di penglihatan dalam bentuk atau rupa, sedangkan yang demikian mustahil bagi Allah Azza wa Jalla dan Maha Suci Allah Azza wa Jalla dari yang demikian.

B.    Aliran Asy’ariyah
1.     Sebab-sebab berdirinya
Abul Hasan Ali bun Ismail al-asyari(260 H / 873 M)
keturunan dari Abu Musa al-Asy’ari, keturunan dari Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al – Asy’ari pada waktu kecil berguru pada seorang Mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun.Ketika mencapai umur 40 tahunia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Mesjid Basrah.Di depan orang banyak ia menyatakan bahwa tidak lagi memegang pendapat Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan – keburukan dan kelemahan – kelemahannya.
Sebab utama ia meninggalkan aliran Mu’tazilah
Ia sangat menghawatirkan Qur’an dan Hadits menjadi korban paham – paham kaum Mu’tazilah,yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena berdasarkan atas pemujaan akal pikiran. Sebagaimana juga dikhawatirkan menjadi korban sikap ahli hadis anthoropomophis yang hanya memegangi nas – nas dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret Islam kepda kelemahan, kebekuan yang tidak dapat dibenarkan agama. Al Asy’ ari karenanya mengambil jalan tengah antara golongan tekstual dan ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslimin. [5]

2.     Pemikiran Teologi Asy’ariyah tentang Rukyat
Berbeda dengan pendapat Mu’tazillah. Aliran Asy’ariyah mengatakan Tuhan dapat dilihat diakhirat dengan mata kepala karena Tuhan mempunyai wujud. Ia dapat dilihat, bila Tuhan melihat diri-Nya tentulah ia sendiri dapat membuat manusia yang mempunyai kemampuan melihat dirinya sendiri. Dalil Asy’ariyah yang dijadikan sandaran pendapatnya adalah
Artinya : wajah – wajah orang mu’min pada hari itu berseri – seri kepada Tuhannyalah mereka melihat ( QS : Al Araf : 143 ).
Menurut Asy’ariyah Tuhan mempunyai sifat – sifat jasmaniyah misalnya Tuhan tangan yang disebutkan dalam Al – Qur’an, hal itu harus diterima karena hal – hal yang tidak dapat diselami oleh akal manusia yang lemah. Asy’ariyah berpendapat Tuhan bisa dilihat diakhirat, argumen yang diajukan Asy’ariyah untuk memperkuat pendapat diatas adalah yang tidak dapat dilihat adalah yang tak wujud yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat

C.    Aliran Maturidiyah
1.     Sebab-sebab berdirinya
Aliran Maturidiyah, seperti aliran Asyariyah, masih tergolong Ahli Sunah.Pendirrinya ialah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand (termasuk daerah Uzbekistan sekarang kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan meninggal di Samarkand tahun 332 H.
Maturidi selama hidupnya dengan Asy’ari , hanya dia hidup di Samarkand, sedangkan Asy’ari hidup di Basrah (Irak). Asy’ari adalah pengikut Syafii dan Maturidi pengikut mazhab Hanafi. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ari adalah orang – orang syafiiyah, sedang pengikut Maturidi adalah orang – orang Hanafiyah. Boleh jadi ada perbedaan pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara Syafii dan Abu Hanifah sendiri.
Baik Maturidi maupun Asy’ari, kedua – duanya menentang aliran Muktazilah, hanya Asy’ari menghadapi pusatnya di Basrah, sedangkan Maturidi menghadapi cabang Muktazilah di negerinya yang mengulan – ulang pikiran – pikiran Muktazilah di Basrah.

2.     Pemikiran Teologi Maturidiyah tentang Rukyat:
Maturidiyah terdiri dari 2 golongan :
1)     Aliran maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy’ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat,Sebagaimana dijelaskan Al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya. Ayat 103 surat Al-An-am [6] yang dijadikan dalil oleh Al-Maturidi dalam mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, diberi tafsiran dengan mengatakan, bahwa Tuhan dapat dilihat maka penafian  al-idrak (Pengungkapan dengan cara-cara yang jelas) tidaklah ada artinya. Hal ini karena bila selain Tuhan hanya dapat ditangkap dengan pandangan menempatkan nafy al-idrak, penafian tersebut menjadi tidak bermakna.Oleh sebab itu Tuhan dapat dilihat dengan mata
2)     Demikian pula Maturidyah Bukhara juga sependapat dengan Asy’ariyah dan Maturidi Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelak memperlihatkan diri-Nya untuk kita lihat dengan mata kepala, menurut apa yang ia kehendaki [6]
Baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah adalah sama-sama termasuk dalam khalaf (ahlusunnah).
Pendapat ahlusunnah menanggapi argument Mu’tazilah tentang Rukyat  ialah[7] :
1. Pingsannya Nabi Musa disebabkan karena ketidak mampuannya melihat Allah, dan ini bukan berarti Allah tidak bisa dilihat.
2. Tasbihnya Musa setelah sadar dari pingsannya, bukan menunjukkan penyucian dari kekurangan Allah, justeru menunjukkan kekurangan dan kelemahan Nabi Musa yang yang tidak mampu melihat Allah di dunia, dan tidak semua yang bisa dilihat berarti tidak baik atau kurang.
3. Nabi Musa mengatakan: ”Saya bertobat”, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya Juz VII/27 mengatakan: “Sudah disepakati oleh semua umat bahwa perkataan ini bukan disebabkan karena Musa melakukan maksiat.”
4. Kaum Nabi Musa diadzab ketika mereka meminta melihat Allah, karena permintaan mereka adalah sebuah tantangan kepada nabinya dan itu dilakukannya dengan penuh kesombongan dan keingkaran dan menganggap semua itu suatu yang mustahil. [Lihat Al Ibanah hal.15]
5. Perkataan mereka yang mengatakan bahwa setiap yang terlihat akan memberikan bekas yang berbentuk dan berwarna adalah “Qiyas ma’al fariq” yaitu kiyas yang terdapat banyak perbedaan karena membandingkan Al -Khaliq [pencipta] dan makhluk-Nya dan kiyas seperti ini adalah bathil, karena Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya [As-Syuraa : 11]

3.                           Pendapat  Jumhur ulama’ tentang Rukyat
 Menurut para Jumhur ulama’[8] Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia. Berbeda dengan kelompok Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya), juga sebagian As’ariyah dan orang –orang Shufi, yang mengatakan bahwa Allah bisa dilihat dengan mata kepala di dunia, bahkan bisa mushafahah (berjabatan tangan) dan mulamasah (bersentuhan) dengan Allah, sebagaimana yang terdapat pada kitab Sirajut Thalibin, mereka mengatakan: ”Orang-orang yang ikhlas akan bisa melihat, bahkan memeluk Allah di dunia dan akherat, kalau mereka menginginkan yang demikian”. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Orang-orang Shufi menganggap bahwa ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) yang ada dalam hatinya sebagai ru’yatullah dengan mata kepala. Padahal terkadang syaitan membayang-bayanginya, dan mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya At-Tawassul Wal Washilah hal.28 berkata: ”Terkadang seorang hamba melihat Arsy yang besar yang ada gambar, juga melihat ada orang yang naik dan turun di arsy tersebut, dan menganggapnya itu malaikat, dan menganggap gambar itu adalah Allah, padahal itu adalah syaitan. Seperti ini sering terjadi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani, beliau bercerita: ”Suatu hari ketika saya selesai beribadah saya melihat arsy yang agung, di dalamnya ada cahaya dan ada seorang yang memanggil, “Wahai Abdul Qadir Jailani saya adalah Tuhanmu dan saya sudah menghalalkan kepadamu semua yang Aku haramkan sebelumnya.”
 Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa dirinya pernah melihat Allah dengan mata kepala di dunia, beliau menjawab: “Barangsiapa di antara manusia yang mengatakan bahwa para wali atau selainnya bisa melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia maka ia adalah seorang Mubtadi’ yang menyesatkan,yang berlawanan dengan Kitab dan Sunnah dan ijma’ salaful ummah, apalagi kalau menganggap dirinya lebih afdhal dari Musa.
Mengenai apakah Rasulullah pernah melihat Allah didunia atau tidak, para jumhur ulama’ sepakat orang yang meniadakan ru’yatullah maksudnya Nabi tidak melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri. Ulama sepakat bahwa Rasulullah  pernah melihat Allah dengan hatinya, berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: “Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatNya dengan hatinya” [HR.Muslim]Dan yang menetapkan ru’yatullah maksudnya Nabi melihat Allah dengan mata hatinya. Karena tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala beliau, dan Rasulullah sendiri tidak pernah memberitahukan kepada shahabatnya, seandainya beliau pernah melihat Allah dengan matanya niscaya akan menceritakan sahabatnya
Adapun selain Nabi, seperti Shahabat dan tabi’in, maka salaf sepakat bisa terjadi bagi hati seorang mukmin sebuah mukasyafat (membuka tabir) dan musyahadat (persaksiaan), yang sesuai dengan keimanan dan ma’rifatullah. Karena seorang yang mencintai sesuatu akan membekas dalam hatinya dan merasa selalu dekat dalam hatinya. Sebagaimana jawaban Rasulullah tentang ihsan:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihatNya, maka Dia melihatmu.[HR. Bukhari, Muslim]

Adapun dalil jumhur yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia adalah sebagai berikut:
1)     Dalil Qur’an
1. Firman Allah surat Al-A’raaf ayat 143 terdahulu. Ibnu Katsir mengatakan: ”Bahwa penafian ru’yatullah khusus di dunia, karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat di akhirat.”
2. Firman Allah dalam surat Al anam ayat 153 . Imam Ahmad dalam kitab bantahannya kepada Zanadiqah dan Jahamiyah hal.13-14, berkata: “Makna ayat ini adalah tidak ada yang bisa melihat Allah di dunia kecuali di akherat. Ibnu Khuzimah dalam kitab tauhidnya hal.185 menambahkan: “Bahwa Allah tidak bisa dicapai oleh penglihatan penduduk dunia sebelum mati”.
3. Firman Allah dalam surat Asy-Syu’ara ayat 51, yang menyatakan bahwa Allah hanya berbicara dengan para rasulNya dengan wahyu atau di balik tabir atau dengan malaikat. Kalau melihat Allah tidak bisa terjadi pada rasul-Nya, maka apalagi pada manusia yang lain.

4. Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 55, dan yang senada dengan ayat ini, yang menyatakan bahwa Bani Israil meminta Musa untuk bisa melihat Allah dengan jelas diazab oleh Allah, karena disamping mereka memintanya dengan penuh kesombongan dan penantangan, juga mereka memintanya di waktu yang tidak mungkin terjadi. Apabila kepada Nabi Musa saja tidak bisa terjadi maka apalagi kepada yang lainnya.

2)      Dalil Sunnah
Hadits-hadits yang lewat menyebutkan bahwa Allah hanya bisa dilihat pada hari kiyamat, seperti hadis berikut:
”Ketahuilah bahwasanya tidak ada seorangpun di antara kamu yang bisa melihat Tuhannya sampai dia mati. [HR.Muslim]
Di sini Rasulullah sedang berbicara dengan para sahabat bahwa mereka tidak bisa melihat Allah sampai mati ,kalau sahabat saja dikatakan oleh Nabi tidak bisa melihat Allah sebelum mati, apalagi manusia yang lain.



KESIMPULAN
Dari pembahasan ini bisa disimpulkan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala baik, oleh nabi Musa maupun Rasulullah di dunia. Allah hanya bisa dilihat di dunia dengan pandangan hati atau lewat sesuai dengan kapasitas keimanan dan keyakinannya kepada Allah. Adapun pada hari kiamat Allah akan dilihat oleh seluruh mahluk-Nya. Tetapi Ru'yatullah yang hakiki yang menjadi tambahan kenikmatan, hanya bisa dirasakan oleh orang mukmin setelah mereka masuk kedalam surga.

MAKALAH
ANALISA PERBANDINGAN PEMIKIRAN
 MADZHAB-MADZHAB TENTANG MELIHAT TUHAN
Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester materi ilmu kalam
Dosen pembimbing : KH. Drs. Saifurrahman Nawawi
  
Oleh:
SILVY EL ROMLAH
JL.Pandan Sari Dalam Kelurahan Marga Sari
Balikpapan barat (KalTim)
Tarbiyah/Pendidikan Bahasa Arab

INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN (IDIA) PRENDUAN
SUMENEP MADURA
PERIODE : 2012-2013


DAFTAR PUSTAKA

v  http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah dan mutazilah.html
v Hanafi,Ahamd.2001.Teologi Islam(Ilmu Kalam), Jakarta:Bulan Bintang.
v Rosihon Anwar,Abdul Rozak.2011.Ilmu Kalam,Bandung: CV Pustaka Setia.




[1] http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah dan mutazilah.html
[2] Ahamd Hanafi,Teologi Islam(Ilmu Kalam),( Jakarta : Bulan Bintang, 2001) Hlm. 43
[3]Rosihon Anwar,Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandun :CV Pustaka Setia, g2011) Hlm. 171.
[4] http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah dan mutazilah.html
[5] Ahamd Hanafi,Teologi Islam(Ilmu Kalam),( Jakarta : Bulan Bintang, 2001) Hlm. 65
[6] Ahamd Hanafi,Teologi Islam(Ilmu Kalam),( Jakarta : Bulan Bintang, 2001) Hlm. 78
[7] http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah dan mutazilah.html
[8] http://almanhaj.or.id/ ruyatullah melihat allah dalam pandangan ahlus sunnah dan mutazilah.html

No comments:

Post a Comment