A.
Latar belakang
Dalam
kitab-kitab hadits banyak kami temukan hadits-hadits yang berkaitan dengan
silaturrahim. Namun ada salah satu hadits yang kami anggap menarik untuk
dibahas pada makalah kami ini, yaitu hadits tentang silaturahmi yang dapat memperpanjang
umur dan dilapangkan rizki [1].
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ
لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya:
“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya
(dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”
Setelah
membaca hadits diatas, mungkin bukan hanya kami yang akan timbul pertanyaan
“Benarkah hanya dengan bersilaturahmi dapat memperpanjang umur, lantas umur yang bagaimanakah yang di maksud hadits ini ?
Bukankah umur sudah ditakdirkan tidak bisa bertambah atau bahkan berkurang [2]
?
Makalah
ini kami susun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas dan membahas lebih
dalam makna memeperpanjangkan umur dalam hadist tersebut.
B. Rumusan masalah
Dari
latar belakang tersebut, kita dapat mengambil rumusan masalah, yaitu : Maksud
dari memperpanjang umur dan apa-apa saja pendapat dari ulama berkaitan hadist
tersebut.
C. Tujuan
Sebagai
pendalaman tentang penafsiran dari sebuah hadist bagi kami sebagai penyusun
makalah dan juga bagi para pembaca.
Keutamaan
Silaturrahmi
Sabda Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam ,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ
يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ
رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang senang untuk
dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka
hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”
Imam Nawawi berkata, arti “al
atsar” dalam hadits tersebut adalah “umur”, karena umur itu mengikuti hidup
dalam bekasnya. sedangkan “melapangkan rezeki” artinya meluaskan/memperbanyak rezeki.
ada yang berpendapat “berkah dari rezeki itu”.
Hadits yang agung ini memberikan
salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahim, yaitu dipanjangkan umur pelakunya
dan dilapangkan rezekinya. Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur,
terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah
ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana
firmanNya,
…فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً
وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “…Maka apabila telah datang waktunya
mereka tidak dapat mengundurkannya meski sesaatpun dan tidak dapat (pula)
memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).
Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah
beragam, diantaranya:
1.
Yang dimaksud dengan tambahan umur
disini ialah barakah diumurnya, yaitu diberi taufik untuk melakukan
ketaatan-ketaatan dan memakmurkan waktu-waktunya dengan apa-apa yang bermanfaat
untuk akhirat serta menjaga dari menyia-nyiakan waktu tersebut.
2.
Berkaitan dengan ilmu yang ada
pada malaikat yang terdapat di lauh mahfudz dan semisalnya. Misalnya usia si fulan tertulis dalam lauh mahfuzh
berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan
mendapatkan tambahan 40 tahun, tapi hanya Allah yang tahu sedangkan malaikat
tidak tahu. Inilah makna firman Allah Ta’ala ,
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ
Artinya: “Allah menghapuskan
apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Qs Ar
Ra’d: 39).
Jadi, yang dimaksud dengan
menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu ialah yang ada dalam ilmu malaikat.
Adapun yang ada di lauh mahfuzh itu, merupakan ilmu Allah yang tidak akan ada
penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al qadha al
mubram (takdir atau putusan yang pasti). Sedangkan yang pertama (ilmu malaikat)
disebut al qadha al mu’allaq (takdir atau putusan yang masih menggantung).
3.
Maksud dari “yunsa-alahu fii atsarihi” ialah orang yang sudah meninggal
namanya tetapi tetap diingat kebaikan-kebaikannya dan dipuji. Sehingga
seolah-olah ia tidak pernah mati. Wallahu
a’lam [3].
Demikian
pula Imam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang permasalahan ini dengan pernyataanbeliau:
adapun firman allah ta’ala ,
adapun firman allah ta’ala ,
وَمَايُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلاَيُنقَصُ
مِنْ عُمُرِهِ …..
Arinya: “dan sekali-kali tidak diperpanjang
umur seorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya…… ” (Qs
Fathir:11).
Kalangan yang meyakini benarnya
jumlah umur yang bertambah karena silaturahmi berdasarkan pemikiran bahwa Allah
telah menetapkan ajal hamba dalam catatan malaikat. Apabila ia menyambung
silaturahim, maka akan ditambahkan pada apa yang tertulis dalam catatan
malaikat tersebut. Jika ia melakukan amalan yang menyebabkan umurnya berkurang,
maka akan dikurangkan dari apa yang telah tertulis tersebut. Pandangan ini
berdasarkan apa yang ada dalam sunan tirmidzi dan lainnya dari nabi shallallahu’alaihi
wasallam , beliau bersabda,
أَنَّ آدم لَمَّا طَلَبَ مِنَ اللهِ أَنْ يُرَيَهُ
صُوْرَةَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِّيَتِهِ فَأَرَاهُ إِيَاهُمْ فَرَأَى فِيْهِمْ
رَجُلاً لَهُ بَصِيْصٌ فَقَالَ مَنْ هَذَا يَا رَبِّ؟ فَقَالَ
ابْنُكَ دَاوُد فَقَالَ فَكَمْ عُمْرُهُ؟ قَالََ أَرْبَعِوْنَ سَنَةً قَالَ وَكَمْ
عُمْرِيْ ؟ قَالَ أَلْفُ سَنَةٍ قَالَ فَقَدْ وَهَبْتُ لَهُ مِنْ عُمْرِي سِتِّينَ
سَنَةً فَكَتَبَ عَلَيْهِ كِتَابٌ وَشَهِدَتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ فَلَمَّا
حَضَرَتِ الْوَفَاةُ قَالَ قَدْ بَقِيَ مِنْ عُمْرِي سِتُُّوْنَ سَنَةً قَالُوْا
قَدْ وَهَبْتَهَا لإِبْنِكَ دَاوُدَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَأَخْرَجُوْا الْكِتَابَ
قَالَ النَّبِيِّ : فنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهَُوَجَحَدَ آدَمُ
فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ
Artinya: “sesungguhnya adam ketika meminta
kepada allah agar diperlihatkan kepadanya wajah-wajah para nabi dari
keturunannya, maka allah pun memperlihatkannya. Kemudian dia melihat seorang
laki-laki yang memiliki cahaya. Adam bertanya,”ya rabbi, siapakah ini?” Allah
menjawab,”anakmu, daud.” Lalu beliau bertanya lagi,”berapa umurnya?” Dijawab,”umurnya
40 tahun” , beliau bertanya lagi,”berapa umur saya?” Dijawab,”seribu tahun”,
adam berkata,”saya berikan enam puluh tahun umur saya kepadanya.” Maka ditulis
atasnya suatu kitab yang disaksikan oleh malaikat. Sehingga ketika akan
meninggal dia berkata,”umur saya masih tersisa enam puluh tahun.” Malaikat
menjawab,”kamu telah memberikannya kepada anakmu daud.” Lalu adam
mengingkarinya dan dikeluarkanlah kitab tadi. Nabi shallallahu’alaihi wasallam
bersabda, “adam telah lupa, maka anak keturunannya pun (punya sifat) lupa. Dan
adam telah mengingkari, maka anak keturunannya pun (punya sifat) mengingkari.” ”
[4]
Dan telah diriwayatkan, bahwa
umur adam disempurnakan. Demikian juga umur daud telah ditetapkan empat puluh
tahun, kemudian ditambah [5]
enam puluh tahun. Allah telah mengetahui apa yang sudah terjadi, yang sedang
terjadi dan yang belum terjadi, dan seandainya terjadi bagaimana cara
terjadinya. Allah mengetahui apa yang telah ditulis bagi seorang hamba, dan apa
yang akan ditambahkan kepadanya. Sedangkan para malaikat tidak mengetahui,
kecuali apa yang telah Allah beritahukan kepada mereka. Allah mengetahui segala
sesuatu sebelum dan sesudah terjadinya. Oleh karena itu para ulama mengatakan,
bahwa penghapusan dan penetapan itu terjadi pada catatan malaikat. Adapun ilmu
Allah, maka tidak akan berbeda dan tidak ada yang baru yang belum diketahuinya.
Sehingga tidak ada penghapusan dan penetapan. [6]
Akan tetapi jika kita teliti
hadits tersebut, dapat kita simpulkan dengan jelas bahwa tambahnya umur Nabi
Daud bukan karena disebabkan oleh silaturahmi yang dilakukannya,akan tetapi
jauh sebelum ia diciptakan, atas dasar permintaan Nabi Adam. Jadi kurang pas
kiranya jika hadits tersebut dikaitkan dengan hadits silaturahmi yang dapat
memperpanjangkan umur.
Untuk mancari titik temu kedua
permasalahan ini dapat kita analogikan. Pertama, tambahan (umur) yang dimaksud
yaitu kinayah dari usia yang diberi berkah, karena mendapat taufiq (kemudahan)
menjalankan ketaatan, menyibukkan waktunya dengan hal yang bermanfaat di akhirat,
serta menjaga waktunya dari kesia-siaan. Hal ini seperti sabda nabi shallallahu’alaihi
wasallam , bahwa umur umat ini lebih pendek dibandingkan umur umat-umat yang
terdahulu. Tetapi kemudian Allah menganugerahi lailatul qadar (malam qadar).
Abdurrahman bin Auf ra.
Mengatakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Allah SWT
berfirman,”Aku adalah ar-Rahman (Maha Pengasih). Aku telah menciptakan rahim (kandungan),
aku mengambilkan nama tersebut dari nama-ku. Siapa yang menyambungkan hubungan kekeluargaan.
Maka aku kan hubungkan kekeluargaan dengan (rahmat)-ku, dan barang siapa
memutuskan hubungan kekeluargaan, maka Aku akan memutuskan dari(rahmatku). ”(HR.Abu
Daud dan at – Tirmidzi)[7]
Kedua,
Mengenai janji Allah untuk menangguhkan atsar lantaran adanya silaturahmi,
sebenarnya atsar itu bila kita tafsirkan sebagai kenangan baik setelah kematian
maka penangguhannya berarti diakhirkan dan dipanjangkan. Mulut orang-orang
tidak akan berhenti memuji dan mendoakan
kebaikan kepadanya, karena ia telah menyambung tali kekerabatan. Bisa
jadi kenangan ini akan terus berlanjut hingga sekian lama sekan-akan jiwanya
yang pengasih itu kekal di alam kehidupan.Tapi bila ajal itu kita tafsirkan
sebagai sisa usia, maka zahir dari hadits ini bermakna bahwa ajal akan dengan
sendirinya memanjang dengan silaturahmi..[8]
Penafsiran
yang paling logis adalah pemanjangan ajal ini dengan barakah selama perjalanan
usianya, dimana Allah mengaruniakannya kekuatan di dalam tubuhnya, dengan amal
perbuatan yang baik, Itulah kehidupan yang panjang meski dalam perhitungan usia
hanya sebentar. Karena memang ukuran sebenarnya untuk kehidupan yang diberkati itu
bukan bulan ataupun tahun, tetapi keagungan amal perbuatan dan banyaknya
pengaruh yang ditanamkan
.
Berapa banyak orang yang berusia tidak panjang namun seakan-akan ia telah hidup
ditengah-tengah kita berabad-abad karena banyaknya yang telah ia perbuat dan besarnya
nilai yang ia tinggalkan. Sesungguhnya berkah dalam usia merupakan janji
Allah atas orang yang menyambung tali
silaturahmi, jelaslah, bahwa para ulama rahimahumullah mempunyai tiga
pendapat dalam menafsirkan penambahan umur. Pendapat pertama, barakah. Pendapat
kedua, perpanjangan hakiki atau sesungguhnya. Pendapat ketiga, keharuman nama
setelah meninggalnya.
Akhirnya, inti yang wajib kita
jadikan jalan keluar dari perselisihan makna memanjangkan umur baik bermakna
hakikat ataupun majaz (kiasan), yaitu memperpanjang umur tersebut dengan
menggunakan dan menghabiskannya untuk mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun
seseorang yang panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk
sejelek-jelek orang, sebagaimana sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam
dalam hadits abu bakrah radhiyallahu’anhu.
Seperti yang telah disinggung oleh hadist:
Pertama. Silaturahmi merupakan
salah satu tanda dan kewajiban iman. Sebagaimana dijelaskan rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam dalam hadits abu hurairah, beliau bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ
رَحِمَهُ
Artinya: “barangsiapa yang beriman kepada
allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahmi.” (mutafaqun ‘alaihi).
Kedua. Mendapatkan rahmat dan
kebaikan dari allah ta’ala . Sebagaimana sabda beliau shallallahu’alaihi
wasallam ,
خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ فَقَالَتْ
هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ
أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ
Artinya: “allah menciptakan makhluknya,
ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata,”ini tempat orang
yang berlindung kepada engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab, “tidakkah
engkau ridha, aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang
memutusmu?” Dia menjawab,“ya, wahai rabb.”” (mutafaqun ‘alaihi).
Ibnu abi jamrah berkata,“kata ‘allah menyambung’,
adalah ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari allah kepadanya.”
Sedangkan imam nawawi menyampaikan perkataan
ulama dalam uraian beliau,“para ulama berkata, ‘hakikat shilah adalah
kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata ‘allah menyambung’ adalah
ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat allah.” [lihat syarah beliau atas shahih
muslim 16/328-329]
Ketiga. Silaturahmi adalah salah
satu sebab penting masuk syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana
sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam,
Artinya: “dari abu ayub al anshari, beliau
berkata, seorang berkata,”wahai rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang
dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau shallallahu’alaihi wasallam
menjawab,“menyembah allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan shalat,
menunaikan zakat dan bersilaturahmi.”” (diriwayatkan oleh jama’ah).
Silaturahmi adalah ketaatan dan
amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada allah ta’ala, serta tanda takutnya
seorang hamba kepada allah. Sebagaimana firman allah ta’ala (yang artinya), “dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.”
(qs arra’d 13:21).
Demikianlah sebagian keutamaan
silaturahim. Tentunya tidak seorangpun dari kita yang ingin melewatkan
keutamaan ini. Apalagi bila melihat akibat buruk dan adzab pedih yang allah
ta’ala siapkan bagi orang yang memutus tali silaturahim. Karenanya, orang-orang
shalih dari pendahulu umat ini membiasakan diri menyambung silaturahim,
walaupun sulit sarana komunikasi pada jaman mereka. Sedangkan pada zaman
sekarang ini, dengan tercukupinya sarana transportasi dan komunikasi,
semestinya membuat kita lebih aktif melakukan silaturahim.
Hubungan tersebut dapat
dilakukan dengan hanya mengucapkan salam. Apa beratnya mempergunakan telepon
untuk menghubungi salah satu kerabat kita dan mengucapkan salam kepadanya?
Ibnu abbas radhiyallahu’anhu
meriwayatkan, rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
بَلُوْا أَرحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ
Artinya: “sambunglah keluargamu meskipun
dengan salam.” [9]
Mungkin ada yang mengatakan, di
antara penyebab terputusnya silaturahmi ialah banyaknya kesibukan manusia pada
hari ini, keluasan wilayah, buruknya pengaturan dan manajemen waktu, kurang
begitu mengerti besarnya dosa memutuskan silaturahim. Tetapi orang yang
memperhatikan keadaan semisal abu bakar dan umar al faruq radhiyallahu’anhuma
. Pada masa pemerintahannya, meskipun banyak beban yang harus dipikul di pundak
mereka dan belum lengkapnya sarana transformasi dan komunikasi modern, akan
tetapi mereka tetap memiliki waktu untuk mengunjungi kerabatnya dan membantu
tetangganya. Sedangkan diri kita sering mengunjugi dan bercengkrama dengan
sahabat-sahabat, tetapi tidak pernah memasukkan ke dalam agenda kegiatan untuk
berkunjung ke salah satu kerabat, meskipun satu kali dalam sebulan.
PENUTUP
Dari pembahasan hadits tadi
dapat di simpulkan bahwasanya dikehidupan yang terbatas ini, terbatas dengan
beberapa tahun, minggu, hari, jam, bahkan detik , Hendaklah kita bersemangat memanfaatkan
umur dengan amal kebaikan salah satunya dengan silaturahmi. Ketahuilah,
barangsiapa yang menyambungnya, niscaya Allah Ta’ala akan berhubungan
dengannya. Dan barangsiapa memutuskannya, maka Allah pun akan memutuskan
hubungan dengannya.
MAKALAH
SILATURRAHIM,
REZEKI, DAN UMUR MANUSIA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen Pembimbing: K.H. Jamal Abdul Natsir
Oleh:
Fila Safia
Silvy El Romlah
INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN PRENDUAN SUMENEP MADURA
TAHUN 2012
DAFTAR
PUSTAKA
· Sayyid,
Majdi Fathi. 2000. Amal yang dibenci dan dicintai Allah, Jakarta:Gema
Insani Press.
· Atha,
AbdulQadir Ahmad. 1992. AdabunNabi, Beirut:Pustaka
Azzam
[1] حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ
فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
[4]
[riwayat tirmidzi dalam tafsir surat al a’raf
dan dia berkata,”hadits ini hasan gharib dari jalan ini (11/196). Berkata al
arnauth dalam jami’ul ushul (2/141). Diriwayatkan oleh al hakim, dan
beliau menshahihkannya serta disepakati oleh adz dzahabi. Syeikh al albani
menshahihkannya dalam shahihul jami' no. 5209]
[5]
barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya”
sebagai ganti dari “dijadikannya”, karena adam as telah memberikan kepada daud
60 tahun dari umurnya, sehingga umur daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
[7]
Majdi Fathi Sayyid, Amal Yang Dicintai Dan Dibenci Allah(Jakarta: Gema
Insani,1998) Hal.101
[8]
Abdul Qadir Ahmad Atha, Adabun Nabi(Beirut: Pustaka azzam,1992)Hal:140
[9]
[riwayat al bazzar, ath thabrani dan al baihaqi. Berkata al munawi dalam
faidhul qadir, “berkata al-bukhari,’semua jalannya dha’if, akan tetapi saling
menguatkan (3/207)’.” Al albani menghasankannya dalam shahihul jami'
no. 2838]
No comments:
Post a Comment