Latar Belakang
Islam merupakan agama yang memiliki
segala macam solusi problematika yang terjadi pada manusia. Dengan menggunakan
Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar pedoman penetapan hukum, islam menawarkan
berbagai solusi baik dari hal kecil sampai sesuatu yang sifatnya di luar
jangkauan akal manusia(ghaib).
Seiring berkembangnya zaman dan
berkembang pula problematika pada manusia memunculkan permasalahan-permasalahan
baru atau yang biasa kita kenal dengan isltilah (permsalahan kontemporer) yang
sebelumnya belum pernah terjadi. Dan permasalahan itu sangat membutuhkan
kejelasan hukum, umat Islam perlu mencarikan solusinya, yang merujuk kepada
al-Qur’an dan As-Sunah. Kalaupun tidak dijumpai didalamnya, maka umat Islam pun
berusaha mengali hukum dari kedua sumber tersebut tentunya dengan metode
sistematis yang telah disepakati (ijma’). Hal inilah yang dinamakan dengan
ijtihad.
Lantas bagaimanakah peran ijtihad dalam
dinamika hukum islam?
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut kita dapat mengambil
rumusan masalah, yaitu:
1.
Ijtihad
2.
Dinamika Hukum Islam
3.
Peran ijtihad dalam dinamika hukum islam
Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini ialah sebagai media
peningkatan ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang usul fiqih bagi penulis dan
pembaca.
- IJTIHAD
a.
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa “ ijtihad” berasal dari
kata jahada
(
جهد) yang
berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “
Ijtihad” dipakai mengikuti wazan ifti’al yang berarti “ bersangkutan dalam
pekerjaan”. Oleh sebab itu , kata “ijtihad” berarti mencurahkan segala
kemampuan dalam segala perbuatan. Dengan demikian kata “jihad” (خها د) dan “ijtihad” ( اخثها د ) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata “ijtihad”
bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedang kata “jihad”
bergerak
dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama ushuliyyin mengartikan ijtihad
dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan dan kesanggupan
intelektual dalam menginstimbatkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci.[1]
b.
Macam-macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan
pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I menyamakan ijtihad dengan
qiyas, yakni dua nama tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang
didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama
lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka ijtihad itu
mencakup ra’yu , qiyas dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu
sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang
dipandang mashlahat oleh seorang mujtahid , atau setidak-tidaknya mendekati
syari’at tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan
pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang
sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat[2],
yaitu:
a.
Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’
dari nash.
b.
Ijtihad Al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c.
Ijtihad al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan
kaidah istislah.
c.
Syarat – Syarat Ijtihad
Orang yang berijtihad harus memenuhi
beberapa syarat[3]
yakni :
1)
Mengetahui nas Al-Qur’an dan hadis. Kalau tidak mengetahui salah
satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Beberapa jumlah
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang harus diketahuinya? Menurut Al-Ghazali dan
Ibnul ‘Arabi, ayat-ayat yang harus diketahui ialah kurang lebih 500 ayat, yaitu
ayat-ayat yang mengenai hukum. Menurut As Syaukani, harus lebih banyak lagi
daripada 500 ayat , bahkan dari ayat-ayat tentang cerita dan contoh-contoh juga
bisa ditentukan hukum-hukum.
Jumlah Hadis yang harus diketahui
mujtahid ada yang mengatakan harus 3000 buah. Ada pula yang mengatakan harus
1200 buah. Menurut As Syaukani harus mengetahui hadis-hadis yang ada dalam
kitab-kitab hadis yang enam dan lain-lain.
Baik tentang ayat-ayat Qur’an maupun
hadis-hadis tidak disyaratkan hafal, tetapi cukup manakala dibutuhkan dapat
mencari dalam Qur’an dan kitab-kitab hadis. Tentang hadis , selain mengetahui
sahih, hasan dan dhaifnya, juga harus mengetahui keadaan perawi-perawi hadis
mana yang tercela dan mana yang tidak.
2)
Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga ia tidak memberikan fatwa yang
berlainan dengan ijma, kalau ia memegangi ijma
dan memandangnya s ebagai dalil syara’
3)
Mengetahui bahasa Arab sehingga dapat mengerti idem-idemnya. Mujtahid
juga harus mengerti pembicaraan yang jelas, yang zahir , yang mujmal, yang
hakikat, yang majaz, yang a’am yang khas
yang mukhkam yang mutasyabih yang mutlaq. Yang muqaiyad, yang mantuq, dan yang
mafhum. Yang diperlukan ialah sekedar dapat memahami Qur’an dan Hadis.
4)
Mengetahui ilmu usul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu
ushul fiqih menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaklah mujtahid menyelidiki
persoalan-persoalan ilmu usul fiqih sehingga sampai kepada kebenaran. Dengan
demikian, ia mudah mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok.
Mengetahui nasikh dan mansukh, sehingga
ia tidak mengeluarkan hukum berdasar dalil yang sudah di mansukh
Tingakatan-tingkatan mujtahid [4]
1. Mujtahid mutlaq, yaitu yang mempunyai
syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak
terikat oleh sesuatu mazhab.
2. Mujtahid muntasib yaitu orang yang mempunyai
syarat-syarat ijtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu mazhab, karena mengikuti jalan-jalan yang telah
dibentangkan oelh Imam mazhab tersebut
dalam berijtihad.
3. Mujthaid muqaiyad, yaitu orang-orang yang
terikat kepada Imam, karena tidak mau keluar dari dalil-dalil Imam tersebut,
sungguh pun ia sendiri bisa menilai dalil-dalil. Mujtahid ini tidak termasuk
dalam pembicaraan ijtihad.
Masalah yang diijtihadkan [5]
Masalah yang diijtihadkan, ialah
tiap-tiap hukum syara’ yang tidak ada dalilnya yang pasti. Jadi tidak dilakukan
ijtihad terhadap hukum-hukum akal dan soal-soal ilmu kalam. Juga tidak
diijtihadkan soal-soal yang ada dalil pasti, seperti shalat lima waktu, zakat
dan lain-lain .
Pembatalah ijtihad [6]
Apabila seseorang telah berijtihad untuk
dirinya sediri tentang hukum sesuatu peristiwa dan telah beramal sesuai dengan
hasil ijtihadnya, kemudian ia merobah ijtihadnya, maka ia harus membatalkan apa
yang diperbuat berdasarkan ijtihadnya yang pertama. Misalnya sebagi hasil
ijtihadnya ia berpendapat, bahwa khulu’ adalah fasakh dan tidak mengurangi
bilangan cerai, sedang ia telah menjatuhkan talak khulu’ tiga kali atas
isterinya. Ia kemudian merobah ijtihadnya dan berpendapat bahwa khulu’ itu
thalaq. Maka ia harus melepaskan isteri tersebut.
Apabila yang berijtihad adalah hakim dan
ia telah menghukum sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian berubah lagi
ijtihadnya. Maka ia tidak boleh membatalkan keputusan yang telah diberikannya.
Kalau ijtihadnya bisa dirobah dengan ijtihad, maka ijtihad kedua inipun dapat
di batalkan dengan ijtihad ketiga, maka terjadilah kekacauan hukum. Demikian
pula bagi orang lain yang berbeda ijtihadnya tidak menyalahi nas atau dalil
qat’I. Kalau menyalahi nas , barulah dirobah (dibatalkan) keputusan tersebut.
Umar bin khattab tatkala berubah
ijtihadnya dlam suatu perkara yang diputuskannya , beliau tidak membatalkan
keputusan tersebut. Tetapi beliau berkata” itu adalah yang telah saya putuskan dan ini adalah yang
akan saya putuskan”
d.
Hukum Ijtihad
Hukum ijtihad di bagi menjadi 3 yakni[7] :
1.
Wajib ‘ ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa
sedang peristiwa tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya.
Demikian pula wajib ‘ain, apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh
seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.
Wajib kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu peristiwa
dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang
selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Apabila semua meninggalkan ijtihad
maka mereka berdosa.
3.
Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu peristiwa yang belum terjadi,
baik dinyatakan atau tidak.
- DINAMIKA HUKUM ISLAM
Syariat Islam bukanlah
undang-undang yang dibuat oleh manusia. Sebab segenap hal yang dibawa oleh
manusia merupakan bagian dari gambaran perjalanan waktu. Syariat Islam juga
bukan sekumpulan peraturan yang diberlakukan pada masa dan lingkungan tertentu
serta ditujukan kepada bangsa yang memiliki struktur psikologis dan sosiologis
tersendiri.
Syariat Islam sesunguhnya adalah
sekumpulan kaidah Ilahiah yang berinteraksi dengan hukum alam yang bersifat
konstan sehingga menyebabkan interaksi itu menjadi baik.Manusia adalah tetap
sebagai seorang manusia yang bersifat statis, yang tidak dapat dikuasai oleh
factor-faktor sejarah manapun.
Fikih adalah praktek akal seorang Muslim
yang intens di dalam memahami dalil dan
anologi (qiyas) terhadap apa yang tidak ditunjukkan oleh nash. Qiyas ternyata
banyak jumlahnya dan berada di dalam lingkup ijtihadi bersifat elastis, toleran
dan dinamis.Hanya saja, kita dituntut untuk membumikan seluruh syariat islam,
dan tidak semata-mata hukum tertentu saja. Oleh karena itu , tidak ada islam
tanpa syariat, sebagaimana halnya tidak ada jasad tanpa ruh. Melalui aplikasi
seluruh syariat Islam, kita berpeluang untuk mendapatkan berbagai hikma,
anugerah,kemudahan, dan rahmat. Syariat islam bukan hanya meliputi masalah
hudud (sangsi hukum pidana) semata sesbagimana di propagandankan oleh sebgaian
orang. Bahkan , ia pun meliputi cinta dan akhlak, berbagai hak dan kewajiban ,
dan lain-lain. Yang penting, kita harus senantiasa berlaku jujur pada Allah,
pada umat dan pada diri kita sendiri ; serta kita harus meninggalkan sikap
lali, amin-main dan kesia-siaan.
Dengan demikian, di dalam fikih islam tedapat
wilayah yang tertutup yang tidak menerima perubahan dan dinamika, yakni
hukum-hukum yang telah psti(qath’i). Inilah yang menyebabkan terpeliharanya
kesatuan pemikiran dan perilaku umat. Sedangkan wilayah yang terbuka meliputi
hukum-hukum yang tidak pasti(zhanni), baik dari segi sumbernya(qath’i ats-tsubut)
maupun penunjukkannya (qath’I ad-dilalah), yang merupakan bagian terbesar dari
hukum-hukum fikih. Wilayah inilah yang menjadi tempat ijtihad, yang antara lain
mengarahkan fikih ke dalam dinamika, perkembangan dan pembaruan.[8]
- PERAN IJTIHAD DALAM
DINAMIKA HUKUM ISLAM
Ijtihad sebagai metode penemuan hukum
yang bersandar pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, ketika
diutus sebagi seorang hakim ke Yaman, yang bunyi hadits tersebut;
عن معاذبن جبل ان رسول الله صلي الله علیھ و سلم لما بعثه الى
اليمن كيف تقضى اذا عرض لك قضاء قال اقضى بكتاب الله قال فان لم تجد في كتاب الله فبسنة
رسول الله فان لم تجد في سنة رسول الله قال اجتھد رأیي ولا الو قال فضرب
رسول الله على صدره و قال الحمد لله قد وفق رسول الله لما یرضى رسول الله
Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal
bahwasanya Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda:
"bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus
diputuskan, Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah,
Rasulullah berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Muadz
menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah. Rasululloh
berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz
menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku.
Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang diridhoi oleh
Rasulullah.[9]
Hadits ini dijadikan oleh para ulama
sebagai dasar pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum
Islam.
Pada hakikatnya ijtihad menciptakan
pembaharuan dalam dinamika hukum islam, upaya pembaharuan pada satu sisi adalah
upaya pembersihan ajaran agama dari berbagai hal yang bukan ajaran agama,
tetapi hanya berupa budaya yang dipahami sebagai ajaran agama dan disisi lain
pembaharuan sekaligus pula upaya menjawab tantangan zaman. Sisi pertama, dapat
dikatakan sebagai sebuah pemurnian ajaran agama, yang dimaksud adalah memurnikan
ajaran dari hal-hal yang berbau dari kemusyrikan, khurafat, dan bid’ah, untuk
dikembalikan kepada ajaran Islam yang asli, yang diajarkan oleh al-Qur’an dan
nabi Muhammad SAW.
pembahruan secara umum, yakni berupa
ijtihad untuk mendapatkan solusi atas permasalahan-permasalahan baru yang
muncul dalam masyarakat, dan upaya ini dilakukan oleh mujtahid, yang muncul
dalam setiap generasi ummat. Sementara pandangan lain melihat pembaharuan dari
konteks sejarah, di mana pada awal abad ke-19 telah terjadi perubahan
kebudayaan manusia yang sangat mendasar, yakni perubahan dari pola kehidupan
agraris menjadi industrialis, yang menandai perlalihan dari abad pertengan ke
abad modern.
Kemudian, jika pembaharuan tersebut
ditarik dalam konteks hukum Islam, maka yang dikatakan pembaharuan hukun Islam
adalah upaya melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum
dengan kemajuan modern, sehingga hukum Islam dapat menjawab persoalan yang
muncul ditengah masyarakat yang ditimbulkan oleh perubahan sosial, perkembangan
ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.
Dari kajian diatas, dapat ditegaskan
bahwa upaya apa pun yang dilakukan, baik oleh perorangan, lembaga-lembaga yang
ada dalam masyarakat, maupun oleh pemerintah, kalau upaya tersebut mengacu
kepada penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan mdern, sehingga
hukum Islam dapat memberikan solusi hukum yang adil dan maslahat dalam berbagai
masalah yang muncul dalam masyarakat sebagai akses dari perubahan sosial dewasa
ini, semua upaya tersebut dapat sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum
Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan dan
kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuanmaupun teknologi merupakan
sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. Kemajuan tersebut disatu sisi
menawarkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, yaitu
tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan tersebut menimbulkan
dan melahirkan berbagai masalah yang cukup rumit. Masalah tersebut jika tidak
direspon dengan baik akan menimbulkan ketidak stabilan, ketidak tentraman dan
ancaman bagi kehidupan manusia.
Melihat realita yang
demikian, apabila hukum yang berlaku (ius constiutum) tidak mampu menjawab
persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, sedangkan apabila masalah-masalah
tersebut dibiarkan akan menjadikan sebuah kekosongan hukum, hal ini dalam hukum
tidak dibenarkan adanya kekosongan hukum tersebut.
Maka dari itu, seorang
hakim dituntut untuk bisa mengisi kekosongan tersebut, dan harus bisa membuat
solusi hukum yang akomodatif, mengatur segala permasalahan-permasalahan yang
muncul dengan muaranya adil dan membawa kemaslahatan bersama. Untuk menjawab
permasalahan tersebut kini telah ditemukan sebuah instrumen yaitu ijtihad.
Ijtihad inilah yang akan mereformulasi
hukum yang ada, memperbaharui, bahkan mengadakan sebuah hukum baru apabila situasi
dan kondisi membutuhkan.Dengan adanya pembaharuan, hukum islam dapat memberikan
solusi hukum yang adil terhadapa berbagai masalah yang ada. Solusi hukum yang
adil dan maslahat dalam berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat sebagai
akses dari perubahan sosial dewasa ini, semua upaya tersebut dapat sebagai
bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam.
MAKALAH
IJTIHAD DAN DINAMIKA HUKUM ISLAM
Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Semester materi Ushul Fiqih
Dosen pembimbing : KH. Mujammi’ Abdul Musyfie, Lc
Oleh:
SILVY EL ROMLAH
TARBIYAH/PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEMESTER 3
INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN (IDIA) PRENDUAN
SUMENEP MADURA
2012-2013
DAFTAR PUSTAKA
§
http://jeritansangpenyair.blogspot.com
§
Koto, Alaiddin.2004.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih . Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
§
Syafe’I, Rahmat. 1999. Ushul Fiqih. Bandung : CV Pustaka Setia.
§
Hanafie. 2001.Usul Fiqih. Jakarta: Bina Grafika.
§
Halim, Abdul.1998.Fiqih Statis Dinamis. Bandung : Pustaka
Hidayah.
[1]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.2004) Hlm.127
[2]
Rahmat Syafe’I, Ushul Fiqih (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999) Hlm.104
[3]
Hanafie.Usul Fiqih(Jakarta: Bina Grafika, 2001) Hlm.151
[4]
Hanafie.Usul Fiqih(Jakarta: Bina
Grafika, 2001) Hlm.153
[5]
Ibid 152
[6]
Ibid 155
[7]
Hanafie.Usul Fiqih(Jakarta: Bina Grafika, 2001) Hlm.151
[8]
Abdul Halim, Fiqih Statis Dinamis( Bandung : Pustaka Hidayah,1998) Hlm.119
[9]
http://jeritansangpenyair.blogspot.com
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete