Pages

Tuesday, January 12, 2016

IJTIHAD DAN DINAMIKA HUKUM ISLAM







Latar Belakang
Islam merupakan agama yang memiliki segala macam solusi problematika yang terjadi pada manusia. Dengan menggunakan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar pedoman penetapan hukum, islam menawarkan berbagai solusi baik dari hal kecil sampai sesuatu yang sifatnya di luar jangkauan akal manusia(ghaib).
Seiring berkembangnya zaman dan berkembang pula problematika pada manusia memunculkan permasalahan-permasalahan baru atau yang biasa kita kenal dengan isltilah (permsalahan kontemporer) yang sebelumnya belum pernah terjadi. Dan permasalahan itu sangat membutuhkan kejelasan hukum, umat Islam perlu mencarikan solusinya, yang merujuk kepada al-Qur’an dan As-Sunah. Kalaupun tidak dijumpai didalamnya, maka umat Islam pun berusaha mengali hukum dari kedua sumber tersebut tentunya dengan metode sistematis yang telah disepakati (ijma’). Hal inilah yang dinamakan dengan ijtihad.
Lantas bagaimanakah peran ijtihad dalam dinamika hukum islam?
             
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut kita dapat mengambil rumusan masalah, yaitu:
1.     Ijtihad
2.     Dinamika Hukum Islam
3.     Peran ijtihad dalam dinamika hukum islam

Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini ialah sebagai media peningkatan ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang usul fiqih bagi penulis dan pembaca.


  1. IJTIHAD
a.     Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa “ ijtihad” berasal dari kata jahada ( جهد) yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ Ijtihad” dipakai mengikuti wazan ifti’al yang berarti “ bersangkutan dalam pekerjaan”. Oleh sebab itu , kata “ijtihad” berarti mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan. Dengan demikian kata “jihad” (خها د) dan “ijtihad” ( اخثها د ) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata “ijtihad” bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedang kata “jihad”
bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama ushuliyyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan dan kesanggupan intelektual dalam menginstimbatkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[1]

b.     Macam-macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka ijtihad itu mencakup ra’yu , qiyas dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang mashlahat oleh seorang mujtahid , atau setidak-tidaknya mendekati syari’at tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat[2], yaitu:
a.     Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b.     Ijtihad Al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c.      Ijtihad al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istislah.

c.      Syarat – Syarat Ijtihad
Orang yang berijtihad harus memenuhi beberapa syarat[3] yakni :
1)     Mengetahui nas Al-Qur’an dan hadis. Kalau tidak mengetahui salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Beberapa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang harus diketahuinya? Menurut Al-Ghazali dan Ibnul ‘Arabi, ayat-ayat yang harus diketahui ialah kurang lebih 500 ayat, yaitu ayat-ayat yang mengenai hukum. Menurut As Syaukani, harus lebih banyak lagi daripada 500 ayat , bahkan dari ayat-ayat tentang cerita dan contoh-contoh juga bisa ditentukan hukum-hukum.
Jumlah Hadis yang harus diketahui mujtahid ada yang mengatakan harus 3000 buah. Ada pula yang mengatakan harus 1200 buah. Menurut As Syaukani harus mengetahui hadis-hadis yang ada dalam kitab-kitab hadis yang enam dan lain-lain.
Baik tentang ayat-ayat Qur’an maupun hadis-hadis tidak disyaratkan hafal, tetapi cukup manakala dibutuhkan dapat mencari dalam Qur’an dan kitab-kitab hadis. Tentang hadis , selain mengetahui sahih, hasan dan dhaifnya, juga harus mengetahui keadaan perawi-perawi hadis mana yang tercela dan mana yang tidak.
2)     Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan ijma, kalau ia memegangi ijma  dan memandangnya s ebagai dalil syara’
3)     Mengetahui bahasa Arab sehingga dapat mengerti idem-idemnya. Mujtahid juga harus mengerti pembicaraan yang jelas, yang zahir , yang mujmal, yang hakikat,  yang majaz, yang a’am yang khas yang mukhkam yang mutasyabih yang mutlaq. Yang muqaiyad, yang mantuq, dan yang mafhum. Yang diperlukan ialah sekedar dapat memahami Qur’an dan Hadis.
4)     Mengetahui ilmu usul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu ushul fiqih menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaklah mujtahid menyelidiki persoalan-persoalan ilmu usul fiqih sehingga sampai kepada kebenaran. Dengan demikian, ia mudah mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok.
Mengetahui nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasar dalil yang sudah di mansukh
Tingakatan-tingkatan mujtahid [4]
1.  Mujtahid mutlaq, yaitu yang mempunyai syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu mazhab.
2.  Mujtahid muntasib yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat ijtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu mazhab,  karena mengikuti jalan-jalan yang telah dibentangkan oelh Imam mazhab tersebut  dalam berijtihad.
3.  Mujthaid muqaiyad, yaitu orang-orang yang terikat kepada Imam, karena tidak mau keluar dari dalil-dalil Imam tersebut, sungguh pun ia sendiri bisa menilai dalil-dalil. Mujtahid ini tidak termasuk dalam pembicaraan ijtihad.

Masalah yang diijtihadkan [5]
Masalah yang diijtihadkan, ialah tiap-tiap hukum syara’ yang tidak ada dalilnya yang pasti. Jadi tidak dilakukan ijtihad terhadap hukum-hukum akal dan soal-soal ilmu kalam. Juga tidak diijtihadkan soal-soal yang ada dalil pasti, seperti shalat lima waktu, zakat dan lain-lain .

Pembatalah ijtihad [6]
Apabila seseorang telah berijtihad untuk dirinya sediri tentang hukum sesuatu peristiwa dan telah beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian ia merobah ijtihadnya, maka ia harus membatalkan apa yang diperbuat berdasarkan ijtihadnya yang pertama. Misalnya sebagi hasil ijtihadnya ia berpendapat, bahwa khulu’ adalah fasakh dan tidak mengurangi bilangan cerai, sedang ia telah menjatuhkan talak khulu’ tiga kali atas isterinya. Ia kemudian merobah ijtihadnya dan berpendapat bahwa khulu’ itu thalaq. Maka ia harus melepaskan isteri tersebut.
Apabila yang berijtihad adalah hakim dan ia telah menghukum sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian berubah lagi ijtihadnya. Maka ia tidak boleh membatalkan keputusan yang telah diberikannya. Kalau ijtihadnya bisa dirobah dengan ijtihad, maka ijtihad kedua inipun dapat di batalkan dengan ijtihad ketiga, maka terjadilah kekacauan hukum. Demikian pula bagi orang lain yang berbeda ijtihadnya tidak menyalahi nas atau dalil qat’I. Kalau menyalahi nas , barulah dirobah (dibatalkan) keputusan tersebut.
Umar bin khattab tatkala berubah ijtihadnya dlam suatu perkara yang diputuskannya , beliau tidak membatalkan keputusan tersebut. Tetapi beliau berkata” itu adalah  yang telah saya putuskan dan ini adalah yang akan saya putuskan”

d.     Hukum Ijtihad
Hukum ijtihad di bagi menjadi 3 yakni[7] :
1.     Wajib ‘ ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa sedang peristiwa tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian pula wajib ‘ain, apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.     Wajib kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu peristiwa dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Apabila semua meninggalkan ijtihad maka mereka berdosa.
3.     Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu peristiwa yang belum terjadi, baik dinyatakan atau tidak.

  1. DINAMIKA HUKUM ISLAM
Syariat Islam bukanlah undang-undang yang dibuat oleh manusia. Sebab segenap hal yang dibawa oleh manusia merupakan bagian dari gambaran perjalanan waktu. Syariat Islam juga bukan sekumpulan peraturan yang diberlakukan pada masa dan lingkungan tertentu serta ditujukan kepada bangsa yang memiliki struktur psikologis dan sosiologis tersendiri.
Syariat Islam sesunguhnya adalah sekumpulan kaidah Ilahiah yang berinteraksi dengan hukum alam yang bersifat konstan sehingga menyebabkan interaksi itu menjadi baik.Manusia adalah tetap sebagai seorang manusia yang bersifat statis, yang tidak dapat dikuasai oleh factor-faktor sejarah manapun.
Fikih adalah praktek akal seorang Muslim yang intens di dalam memahami  dalil dan anologi (qiyas) terhadap apa yang tidak ditunjukkan oleh nash. Qiyas ternyata banyak jumlahnya dan berada di dalam lingkup ijtihadi bersifat elastis, toleran dan dinamis.Hanya saja, kita dituntut untuk membumikan seluruh syariat islam, dan tidak semata-mata hukum tertentu saja. Oleh karena itu , tidak ada islam tanpa syariat, sebagaimana halnya tidak ada jasad tanpa ruh. Melalui aplikasi seluruh syariat Islam, kita berpeluang untuk mendapatkan berbagai hikma, anugerah,kemudahan, dan rahmat. Syariat islam bukan hanya meliputi masalah hudud (sangsi hukum pidana) semata sesbagimana di propagandankan oleh sebgaian orang. Bahkan , ia pun meliputi cinta dan akhlak, berbagai hak dan kewajiban , dan lain-lain. Yang penting, kita harus senantiasa berlaku jujur pada Allah, pada umat dan pada diri kita sendiri ; serta kita harus meninggalkan sikap lali, amin-main dan kesia-siaan.
 Dengan demikian, di dalam fikih islam tedapat wilayah yang tertutup yang tidak menerima perubahan dan dinamika, yakni hukum-hukum yang telah psti(qath’i). Inilah yang menyebabkan terpeliharanya kesatuan pemikiran dan perilaku umat. Sedangkan wilayah yang terbuka meliputi hukum-hukum yang tidak pasti(zhanni), baik dari segi sumbernya(qath’i ats-tsubut) maupun penunjukkannya (qath’I ad-dilalah), yang merupakan bagian terbesar dari hukum-hukum fikih. Wilayah inilah yang menjadi tempat ijtihad, yang antara lain mengarahkan fikih ke dalam dinamika, perkembangan dan pembaruan.[8]

  1. PERAN IJTIHAD DALAM DINAMIKA HUKUM ISLAM
Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, ketika diutus sebagi seorang hakim ke Yaman, yang bunyi hadits tersebut;
عن معاذبن جبل ان رسول الله صلي الله علیھ و سلم لما بعثه الى اليمن كيف تقضى اذا عرض لك قضاء قال اقضى بكتاب الله قال فان لم تجد في كتاب الله فبسنة رسول الله فان لم تجد في سنة رسول الله قال اجتھد رأیي ولا الو قال فضرب رسول الله على صدره و قال الحمد لله قد وفق رسول الله لما یرضى رسول الله

Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah.[9]
Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam.
Pada hakikatnya ijtihad menciptakan pembaharuan dalam dinamika hukum islam, upaya pembaharuan pada satu sisi adalah upaya pembersihan ajaran agama dari berbagai hal yang bukan ajaran agama, tetapi hanya berupa budaya yang dipahami sebagai ajaran agama dan disisi lain pembaharuan sekaligus pula upaya menjawab tantangan zaman. Sisi pertama, dapat dikatakan sebagai sebuah pemurnian ajaran agama, yang dimaksud adalah memurnikan ajaran dari hal-hal yang berbau dari kemusyrikan, khurafat, dan bid’ah, untuk dikembalikan kepada ajaran Islam yang asli, yang diajarkan oleh al-Qur’an dan nabi Muhammad SAW.
pembahruan secara umum, yakni berupa ijtihad untuk mendapatkan solusi atas permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat, dan upaya ini dilakukan oleh mujtahid, yang muncul dalam setiap generasi ummat. Sementara pandangan lain melihat pembaharuan dari konteks sejarah, di mana pada awal abad ke-19 telah terjadi perubahan kebudayaan manusia yang sangat mendasar, yakni perubahan dari pola kehidupan agraris menjadi industrialis, yang menandai perlalihan dari abad pertengan ke abad modern.

Kemudian, jika pembaharuan tersebut ditarik dalam konteks hukum Islam, maka yang dikatakan pembaharuan hukun Islam adalah upaya melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan modern, sehingga hukum Islam dapat menjawab persoalan yang muncul ditengah masyarakat yang ditimbulkan oleh perubahan sosial, perkembangan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.
Dari kajian diatas, dapat ditegaskan bahwa upaya apa pun yang dilakukan, baik oleh perorangan, lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, maupun oleh pemerintah, kalau upaya tersebut mengacu kepada penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan mdern, sehingga hukum Islam dapat memberikan solusi hukum yang adil dan maslahat dalam berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat sebagai akses dari perubahan sosial dewasa ini, semua upaya tersebut dapat sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam.


BAB III
KESIMPULAN

Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuanmaupun teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. Kemajuan tersebut disatu sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan tersebut menimbulkan dan melahirkan berbagai masalah yang cukup rumit. Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan ketidak stabilan, ketidak tentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia.
Melihat realita yang demikian, apabila hukum yang berlaku (ius constiutum) tidak mampu menjawab persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, sedangkan apabila masalah-masalah tersebut dibiarkan akan menjadikan sebuah kekosongan hukum, hal ini dalam hukum tidak dibenarkan adanya kekosongan hukum tersebut.
Maka dari itu, seorang hakim dituntut untuk bisa mengisi kekosongan tersebut, dan harus bisa membuat solusi hukum yang akomodatif, mengatur segala permasalahan-permasalahan yang muncul dengan muaranya adil dan membawa kemaslahatan bersama. Untuk menjawab permasalahan tersebut kini telah ditemukan sebuah instrumen yaitu ijtihad.
Ijtihad inilah yang akan mereformulasi hukum yang ada, memperbaharui, bahkan mengadakan sebuah hukum baru apabila situasi dan kondisi membutuhkan.Dengan adanya pembaharuan, hukum islam dapat memberikan solusi hukum yang adil terhadapa berbagai masalah yang ada. Solusi hukum yang adil dan maslahat dalam berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat sebagai akses dari perubahan sosial dewasa ini, semua upaya tersebut dapat sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam.

MAKALAH
IJTIHAD DAN DINAMIKA HUKUM ISLAM
Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Semester materi Ushul Fiqih
Dosen pembimbing : KH. Mujammi’ Abdul Musyfie, Lc

Oleh:
SILVY EL ROMLAH
TARBIYAH/PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEMESTER 3

INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN (IDIA) PRENDUAN
SUMENEP MADURA

2012-2013

DAFTAR PUSTAKA

§  http://jeritansangpenyair.blogspot.com
§  Koto, Alaiddin.2004.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih . Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
§  Syafe’I, Rahmat. 1999. Ushul Fiqih. Bandung : CV Pustaka Setia.
§  Hanafie. 2001.Usul Fiqih. Jakarta: Bina Grafika.
§  Halim, Abdul.1998.Fiqih Statis Dinamis. Bandung : Pustaka Hidayah.



[1] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.2004) Hlm.127
[2] Rahmat Syafe’I, Ushul Fiqih (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999) Hlm.104
[3] Hanafie.Usul Fiqih(Jakarta: Bina Grafika, 2001) Hlm.151
[4]   Hanafie.Usul Fiqih(Jakarta: Bina Grafika, 2001) Hlm.153
[5] Ibid 152
[6] Ibid 155
[7] Hanafie.Usul Fiqih(Jakarta: Bina Grafika, 2001) Hlm.151
[8] Abdul Halim, Fiqih Statis Dinamis( Bandung : Pustaka Hidayah,1998) Hlm.119
[9] http://jeritansangpenyair.blogspot.com

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete